Masjid Auburn Gallipoli, News South Wales, Australia

Umat Muslimin pertama yang tiba di Australia adalah para pedagang yang merupakan penduduk pribumi kepulauan Indonesia.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

28 Agustus, 2012

Masjid New York, New York City, Amerika Serikat


New York City adalah sebuah melting pot di mana bertemu semua jenis bangsa, ras, dan agama. Dapat dikatakan bahwa siapa saja dapat menemukan apa saja dan siapa saja di kota raksasa ini. Namun, Komunitas Muslimin di kota ini selama beberapa tahun kesulitan untuk memiliki sebuah tempat beribadah bersama yang cukup besar. Sebelumnya, beberapa bangunan di kota tersebut telah diubah menjadi tempat beribadah, tetapi tentu saja dianggap kurang.
Pada tahun 1966, pemerintah Kuwait, Arab Saudi, Maroko, dan Libya menyumbangkan uang untuk membangun sebuah masjid di New York City. Pemerinath menyumbangkan dua per tiga dari sekitar $25 juta yang dibutuhkan untuk membangun masjid tersebut. Dengan sumbangan tersebut, panitia pembangunan masjid kemudian membeli sebidang tanah di Upper Manhattan.
Selama dua dekade, perencanaan pembangunan selalu berubah dan pengumpulan dana sering tersendat. Lagipula, seringkali terjadi pertentangan antara Board of Trustee (Dewan Kepercayaan) yang dikontrol oleh Kuwait dan para arsitek yang dikontrol oleh Iran. Salah satu arsitek bahkan dipecat karena dituduh mengadakan konsultasi proyek dengan sebuah perusahaan Yahudi.
Baru pada tahn 1987 Board of Trustee mencapai kesepakatan untuk memulai pembangunan masjid. Tujuan pembangunan masjid ini adalah membangun sebuah masjid yang memperlihatkan gaya aristektur tradisional Islam, sekaligus memperbaruinya dengan tampilan modern yang selaras dengan bangunan New York City yang ada di sekelilingnya.
Pembangunan dimulai pada tanggal 28 Mei 1987, tepat pada akhir bulan Ramadhan, sementara batu fondasi untuk menara baru diletakkan pertama kali pada tanggal 26 September 1988. Selama invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1991, pembangunan masjid ini sempat tersendat dan baru baru selesai pada tahun 1990. Kemudian masjid ini dibuka secara resmi pada tanggal 25 September 1991. Upacara tersebut dihadiri oleh Emir Kuwait, Sheikh Jaber Al Ahmad Al Jaber.


Tradisional Berpadu dengan Modern
Masjid New York City terletak di 3rd Avenue, di antara 96th dan 97th streets, Manhattan, New York. Masjid ini juga dikenal sebagai Islamic Cultural Center. Ketika melintas di depan Masjid New York, banyak orang yang tidak menyadari bahwa bangunan tersebut adalah sebuah masjid.Pasalnya, masjid ini tampak sangat modern. Walaupun demikian, bentuk dasar dan karakteristiknya tetap sama dengan masjid-masjid kuno yang dibangun pada Abad Pertengahan.
Pada akhir abad ke-17 M, para penguasa Muslim sudah mulai memapankan kekuasaannya di daerah-daerah yang mereka taklukkan. Mereka mulai membangun masjid dan istana yang berperan simbol yang tampak bagi kekuasaan mereka. Masjid dan istana itu dibuat oleh para tukang dari Mesir, Persia, dan Byzantium yang membangun suatu desain menurut keterampilan mereka masing-masing. Pada abad ke-18, gaya-gaya ini bersintesis menjadi sebuah tradisi arsitektur Islam.
Masjid ini barangkali dapat dianggap lebih mirip dengan masjid-masjid Turki yang mulai dibangun pada abad ke-10. Gaya ini disebut gaya Madrasah. Masjid-masjid yang dibangun sebelum abad ke-10 biasanya mengguankan banyak pilar dan lorong. Namun, masjid-masjid Turki, seperti Masjid New York City ini, memiliki ruangan yang simpel, luas, dan terbuka.

 Ruang adalah ciri khas utama masjid. Ada banyak patahan dalam ruang yang mencegah pelihat sehingga tidak dapat melihat dinding. Pengaturan seperti ini memberikan kesan kedalaman dan ketakterbatasan. Kesan-kesan ini diperkuat lagi oleh warna putih pada dinding dan kaca. Khusus untuk jamaah wanita, kontraktor telah membangun sebuah balkon di bagian belakang ruangan masjid ini.
Ruangan bagian dalam Masjid New York City mirip dengan Masjid Aya Sofia, yang dulunya merupakan sebuah gereja yang dibangun pada abad ke-6 di Istanbul. Aya Sofia memiliki banyak bukaan atau jendela-jendela kecil yang memungkinkan cahaya untuk masuk sehingga memberikan kesan seperti mengapung. Masjid New York City juga menerapkan pola ini.
Di dalam ruangan masjid ini, suasananya seolah-olah mirip dengan suasana di tempat yang tinggi, misalnya di langit, berkat adanya sistem pencahayaan di dalam ruangan, lampu-lampu gantung atau kandil, dan cahaya alami yang masuk ke dalam setelah melalui penyaringan.
Namun, tidak sebagaimana gereka-gereja ortodoks, masjid ini tidak memiliki dekorasi figuratif yang dapat mengalihkan perhatian dari Tuhan, atau pembangunan tingkat-tingkat kecil pada lantai untuk keperluan upacara keagamaan. Ruangan masjid ini, sesuai dengan prinsip kesetaraan dalam Islam, adalah ruang bersama untuk berkumpul bagi setiap anggota komunitas Muslimin dan memuja Yang Maha Esa.

Geometris
Yang menarik, tidak ada bentuk lengkung seperti lubang kunci atau tapal kuda di masjid ini. Oleh Skidmore, Owings & Merrilll, kontraktor pembangunan, masjid ini memang dirancang sebagai bangunan dengan gaya yang lebih modernis untuk menyongsong abad ke-21. Kesan yang muncul adalah kesederhanaan: tidak ada pilar apapun di bagian dalam masjid. Dengan desain yang lebih banyak menggunakan bentuk persegi ini, sebenarnya sentimen di antara negara-negara Islam yang memberikan sumbangan (jumlahnya sekitar 46 negara) untuk pembangunan justru terkikis.
Walaupun desain eksterior masjid ini masih meniru bentuk dasar Aya Sofia yang berbentuk persegi dan juga masjid-masjid lain yang meniru masjid tersebut, namun ada juag perbedaan. Perbedaannya, dan ini muncul berkat adanya teknik konstruksi modern, adalah bahwa Masjid New York City lebih rigid dan geometris. Desain dasarnya adalah bentuk kubus dengan panjang sisi 90 kaki, yang dipecah-pecah lagi secara imajiner menjadi kotak-kotak lebih kecil dengan ukuran 5 x 5 kaki.
Prinsip geometris kubus ini juga tampak pada mihrab, jendela di bagian atas dan juga pada karpet. Bahkan, kaligrafi yang ada di masjid ini juga berbentuk rektilinier, yang mengutamakan keserasian dengan desain dasar berbentuk kubus itu. Pada puncak kubah, nama Allah ditulis sebanyak empat kali. Di sekeliling nama tersebut tertulis 8 dari 99 asmaul husna. Sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an dibubuhkan di sekeliling dasar kubah.

Masjid ini hanya memiliki satu kubah, tidak sebagaimana masjid-masjid dari zaman pertengahan yang biasanya memiliki tambahan bentuk-setengah-kubah atau kubah-kubah kecil yang lain. Ciri khas lain dari masjid ini adalah menaranya yang menjulang tinggi dan menjadi salah satu lanskap di daerah Manhattan.

Respon Imam terhadap Black September
Masjid ini terletak di New York City, yang menjadi sasaran serangan teroris pada peristiwa 11 September 2001. Setelah peristiwa itu, reaksi warga Amerika Serikat terhadap Islam dapat dikatakan negatif. Hampir semua orang di negeri itu menuduh bahwa para teroris adalah orang Islam, sehingga pusat-pusat kegiatan Islam juga dipandang secara negatif. Namun, ada dua orang imam Masjid New York City, yang sekaligus menjadi pemimpin agama di Islamic Cultural Center of New York, yang menolak tuduhan itu dan mengajukan pernyataan yang kontroversial.
Imam yang pertama adalah Sheik Muhammad Gemeha. Dalam sebuah wawancara, Imam Gemeha menyatakan bahwa “hanya orang Yahudi” yang mampu melakukan serangan 11 September tersebut dan bahwa “jika orang Amerika tahu tentang hal itu, maka mereka akan melakukam hal yang sama dengan apa yang telah dilakukan oleh Hitler kepada orang-orang Yahudi itu”. Wawancara ini dilakukan pada tanggal 4 Oktober 2001, seminggu setelah Imam Gemeha tiba-tiba mengundurkan diri sebagai imam dari pusat kebudayaan Islam di New York tersebut.
Imam yang kedua adalah pengganti Imam Gemeha, yaitu Omar Saleem Abu-Namous. Imam Namous juga mengutuk serangan 11 September, tetapi beliau menyatakan bahwa tidak ada “bukti yang konklusif” bahwa pelakukanya adalah umat Muslimin. Imam Namous sendiri terlibat aktif dalam dialog antaragama dengan para pemimpin Muslim terkemuka dan juga dengan para rabbi atau pendeta Yahudi. Pengganti Imam Namous, Mohammed Shamsi Ali, melanjutkan upaya-upaya perdamaian beliau.

Alamat Masjid New York City
The Islamic Cultural Center of New York (ICCNY), 1711 3rd Ave, New York, NY, 10029,
Phone: (212) 722-5234, Fax: (212) 722-5936
 
Daftar bacaan
“A Fair Sheik? The media ignore a New York imam's anti-Semitic rantings.”, tersedia di http://www.opinionjournal.com/columnists/slipsky/?id=95001366

“A Nation CHallenged: The Imam; New Head of Mosque Wants Proof”, tersedia di http://www.nytimes.com/2001/11/02/nyregion/a-nation-challenged-the-imam-new-head-of-mosque-wants-proof.html

“A Nation CHallenged: The Imam; New York Cleric's Departure From Mosque Leaves Mystery”, tersedia di http://www.nytimes.com/2001/10/23/nyregion/nation-challenged-imam-new-york-cleric-s-departure-mosque-leaves-mystery.html

“Amid Rejoicing, Work Begins On Mosque”, tersedia di http://www.nytimes.com/1987/05/29/nyregion/amid-rejoicing-work-begins-on-mosque.html

“Architecture; A New Mosque for Manhattan, for the 21st Century”, tersedia di http://www.nytimes.com/1992/04/26/arts/architecture-a-new-mosque-for-manhattan-for-the-21st-century.html?pagewanted=2

“For New York Muslims, a Soaring Dome Is Ready”, tersedia di http://www.nytimes.com/1991/04/16/nyregion/for-new-york-muslims-a-soaring-dome-is-ready.html

“Ground Broken For Islamic Center”, tersedia di http://www.nytimes.com/1984/10/28/realestate/ground-broken-for-islamic-center.html?&pagewanted=2

“Imam Seeks ‘Real Connections’”, tersedia di http://www.thejewishweek.com/viewArticle/c36_a7200/News/New_York.html

“Islamic Cultural Center”, tersedia di : http://www.nyc-architecture.com/UES/UES091.htm

“Islamic Cultural Center of New York”, tersedia di http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_Cultural_Center_of_New_York

“Mosque Rising Is a First in New York”, tersedia di http://www.nytimes.com/1988/09/26/nyregion/mosque-rising-is-a-first-in-new-york.html
 
“Persian Gulf Crisis Slows New York Mosque Project”, tersedia di http://www.nytimes.com/1990/12/09/nyregion/persian-gulf-crisis-slows-new-york-mosque-project.html

“The New York Mosque”, tersedia di http://www.fordham.edu/halsall/medny/nymosq1.html

Sumber gambar
http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_Cultural_Center_of_New_York

http://www.nyc-architecture.com/UES/UES091.htm

27 Agustus, 2012

Masjid Maryam, Chicago, Illinois, Amerika Serikat

Masjid Maryam terletak di kawasan suburban Chicago, salah satu kota industri terbesar di negara paling digdaya di dunia pada saat ini. Namun, bukan berarti bahwa masjid ini begitu saja mencerminkan kejayaan negara tersebut. Masjid Maryam justru memperlihatkan bahwa peradaban suatu bangsa – sebesar apapun – selalu menyimpan sisi-sisi gelap.

Keberadaan Masjid Maryam dan dinamika kemasyarakatan yang terbangun di sekitar masjid inilah yang memperlihatkan sisi-sisi gelap di Amerika Serikat itu. Jadi, tidak kebetulan jika hampir seluruh jamaah masjid ini, yang terkoordinasi dalam organisasi Nation of Islam, adalah orang kulit hitam atau Afro-Amerika.

Dalam sejarah panjang Amerika Serikat, kaum kulit hitam adalah korban penindasan selama berabad-abad. Mereka terutama menjadi budak di perkebunan-perkebunan milik para kapitalis kulit putih. Perang Saudara Amerika Serikat pada kurun 1860 – 1865 dan penghapusan perbudakan oleh Presiden Abraham Lincoln tidak serta merta membebaskan orang-orang kulit hitam dari dominasi orang kulit putih.

Hingga dekade 1960-an, dan bahkan hingga sekarang, orang kulit putih masih mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang. Demokrasi yang digembar-gemborkan oleh Konstitusi dipelintir sedemikian rupa oleh kelas masyarakat yang dominan sehingga kaum kulit hitam tetap dalam posisi sebagai korban dan tertindas.

Islam, sebagai agama dan identitas, memberikan inspirasi dan kekuatan bagi sekitar satu juta orang jemaah Nation of Islam. Demokrasi sekuler yang berjalinan dengan kapitalisme memang merupakan sistem yang saat ini paling luas digunakan, tetapi demokrasi semacam itu bagi jamaah Nation of Islam sungguh bukan sistem yang terbaik. Bagi mereka, sistem yang paling baik, jernih, dan memberikan harapan, adalah sistem demokrasi yang dibangun berlandaskan prinsip-prinsip Islam.

Masjid sebagai Pusat Gerakan Sosial

Masjid Maryam berperan sebagai tempat ibadah bagi umat Muslimin tanpa memandang warna kulit atau kewarganegaraan. Bagi para pemimpin Nation of Islam, salah satu ajaran Islam yang harus dipraktekkan dalam kehidupan nyata adalah kesetaraan antarmanusia dan hal itu harus dilaksanakan terutama di pusat gerakan sosial mereka. Pemimpin Nation of Islam, Louis Farrakhan, selalu mengingatkan jamaahnya: “First of all, we must be brothers” (Pertama-tama, kita haruslah terlebih dulu menjadi saudara).

Bangunan Masjid Maryam pada mulanya adalah sebuah gereja Katolik Yunani. Bangunan ini dibeli oleh Nation of Islam pada tahun 1972 dan diubah menjadi sebuah masjid yang selanjutnya diberi nama “Masjid Maryam”, menurut nama ibunda nabi Isa as. Saat itu, pemimpin Nation of Islam adalah Elijah Muhammad. Ketika Nation of Islam terpecah setelah meninggalnya Elijah, Farrakhan membeli bangunan masjid tersebut pada tahun 1988 dan mengembangkannya sesuai dengan tujuan gerakan Nation of Islam yang baru.

Desain arsitektur masjid ini memperlihatkan tanda keislaman yang tegas. Di keempat sudut kubah terdapat kalimat syahadat yang ditulis dengan aksara Arab. Sedangkan di bagian tengah kubat terdapat inskripsi dalam aksara Arab yang berbunyi “Allah Maha Besar” (Allah The Greatest). Di sekeliling kubah, terdapat kutipan ayat 35 – 40 dari Surat An-Nur.

Tanda bagi aktivitas sosial masjid ini yang paling kelihatan adalah adanya sebuah institusi pendidikan bernama Muhammad University of Islam. Lembaga ini menyediakan pendidikan mulai dari tingkat pra-sekolah hingga kelas 12 (12th grade – kira-kira setara dengan kelas 3 SMA).

Selain tempat ibadah, Masjid Maryam juga berfungsi sebagai markas besar organisasi sosial-keagamaan Nation of Islam, yang dihormati di kalangan kulit hitam dan disegani oleh kalangan kulit putih di Amerika Serikat.

Nation of Islam

Tepat pada tanggal 4 Juli 1930, tepat pada peringatan hari kemerdekaan Amerika Serikat, William Fard Muhammad mendirikan Nation of Islam. Secara resmi, dia mengumumkan misinya untuk memperbaiki dan membangkitkan bangsanya yang tersesat dengan berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Bangsa yang tersesat yang dimaksud oleh William adalah keturunan Afrika yang ditangkap, dieksploitasi dan didehumanisasikan sebagai budak di Amerika selama tiga abad.

William mengajari bangsa kulit hitam yang tertindas dan tak memiliki pembela itu sebuah pengetahuan yang menyeluruh tentang Tuhan dan diri mereka sendiri, dan membimbing mereka menuju Kemerdekaan-Diri dengan kebudayaan dan peradaban yang lebih tinggi dari sebelumnya. Inti ajarannya adalah cinta kasih dan perdamaian serta kebenaran dan keindahan.

Setelah William meninggal pada tahun 1934, Nation of Islam dipimpin oleh Elijah Muhammad. Sebelumnya Elijah berguru selama 3,5 tahun kepada William Fard Muhammad, yang dalam ajaran resmi Nation of Islam diyakini sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan dalam Al-Quran dan Injil. Kepada para jamaahnya, Elijah menyatakan bahwa William telah mengajarkan pengetahuan tentang Tata Dunia yang Baru untuk Perdamaian dan Kesalehan berdasarkan Kebenaran dan Keadilan, serta menjanjikan untuk menumbangkan semua tiran dan mengubah dunia menjadi sebuah Surga di Bumi.

Selama 44 tahun, Elijah menerima tanggapan yang negatif dari para pemimpin Amerika yang lain karena ajaran-ajarannya yang dianggap menggoncang tatanan sosial yang telah mapan di Amerika Serikat. Bagi Elijah, yang pendidikannya hanya sampai kelas empat sekolah dasar, hal itu justru membuktikan bahwa apa yang diperolehnya dari gurunya adalah benar-benar pengetahuan yang direstui oleh Tuhan.

Tentangan terhadap Elijah dan Nation of Islam semakin besar ketika semakin banyak kaum kulit hitam yang menjadi mualaf dan mempraktekkan ajaran Islam. Namun, Elijah tetap teguh pada keyakinannya. Menurutnya, dia belajar dari para nabi, misalnya Nabi Musa dan Harun. Kedua nabi tersebut teguh walaupun harus berhadapan dengan Fir’aun ketika hendak membebaskan bani Israil dari penindasan di Mesir.

Louis Farrakhan dan jamaah Masjid Maryam

Sepeninggal Elijah pada tahun 1975, Nation of Islam terpecah menjadi dua organisasi besar. Yang pertama dipimpin oleh putra Elijah, William Mohammed, yang hendak mengubah mahzah organisasi menjadi mazhab Sunni. Yang kedua dipimpin oleh Louis Farrakhan hingga sekarang. Rupanya Nation of Islam pimpinan Farrakhan yang banyak memperoleh pendukung.

Nation of Islam di bawah Farrakhan semakin menegaskan kekuatan umat Muslimin Amerika Serikat yang bersatu ketika pada tanggal 16 Oktober 1995, mereka menggelar Million Man March di Washington, D.C., ibukota Amerika Serikat. Pawai ini melibatkan jutaan orang dan disebut-sebut sebagai pawai orang Afro-Amerika terbesar dalam sejarah.

Louis Farrakhan juga membangun kembali (rebuilding) Nation of Islam dengan menyingkirkan halangan-halangan komunikasi di dalam masyarakat. Di bawah Farrakhan, Nation of Islam menjadi sebuah organisasi sosial-keagamaan yang dikenal toleran terhadap perbedaan dan tak pernah memandang seseorang menurut agama, ras, atau keyakinan dan pandangan ideologis.

Jamaah Nation of Islam hingga kini percaya, syiar Islam di kalangan kaum Afro-Amerika di Amerika Serikat adalah bukti tegas bahwa matahari Islam telah terbit di Barat dan Tuhan memenuhi janji-Nya untuk menegakkan ke-tauhid-annya di seluruh penjuru dunia.

Dr. Rabu Ibrahim Rabu, pemimpin WICS (World Islamic Call Society) dari Libya ketika berkunjung ke University of Islam di Kompleks Masjid Maryam

Pengaruh Politik

Nation of Islam di bawah Louis Farrakhan telah menjelma menjadi sebuah organisasi sosial-keagamaan Islam yang mempunyai kekuatan politik cukup besar. Organisasi ini diyakini punya andil penting dalam terpilihnya Barack Obama dalam pemilihan presiden AS. Hal ini masuk akal jika mengingat besarnya jumlah kaum Muslimin dari ras kulit hitam yang bernaung di bawah organisasi tersebut.

Walaupun Obama, yang dianggap sebagai sosok yang paling dapat mengakomidasi semua kepentingan politik yang ada di Amerika Serikat, telah menjadi presiden, Nation of Islam menegaskan bahwa perjuangan Islam dan gerakan sosial Nation of Islam belum selesai. Kaum Muslimin di Amerika Serikat dan juga di seluruh dunia, tanpa memandang ras dan kebangsaan harus terus berkarya dan menyebarkan inspirasi Islam untuk membebaskan umat manusia.

Daftar Bacaan 

“Mosque Maryam and The Nation of Islam National Center”, tersedia di http://www.noi.org/national_center.htm

“Nation of Islam in America A Nation of Peace & Beauty”, tersedia di http://www.noi.org/history_of_noi.htm

“Farrakhan: ‘New beginning’ for Nation of Islam”, tersedia di http://www.msnbc.msn.com/id/27270645/

“Islamic leader visits Minister Louis Farrakhan and Nation” of Islam, tersedia di http://www.finalcall.com/artman/publish/World_News_3/article_6690.shtml

“Nation of Islam leader to make major statement at mosque dedication”, tersedia di http://www.finalcall.com/artman/publish/article_5323.shtml

“Work not over: Farrakhan”, tersedia di http://www.suntimes.com/news/politics/obama/1270217,CST-NWS-farr10.article

“Minister Farrakhan addresses thousands across nation in lecture series”, tersedia di http://www.finalcall.com/artman/publish/article_3309.shtml

“Minister Farrakhan delivers a message of unity and brotherhood”, tersedia di http://www.finalcall.com/artman/publish/article_3973.shtml

“The End of an Era?”, tersedia di http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/10/21/AR2006102100337_2.html

Sumber gambar  

http://www.msnbc.msn.com/id/27270645/

http://www.finalcall.com/artman/publish/article_3309.shtml

http://www.noi.org/national_center.htm

26 Agustus, 2012

Masjid London Timur, London, Inggris

Mungkin London dapat disebut sebagai kota di dunia Barat yang paling banyak memiliki masjid. Masjid pertama di London yang dapat diketahui adalah sebuah masjid yang terletak di 111 Campden Hill Road di Notting Hill Gate. Berapa lama masjid ini berdiri tidak dapat diketahui, walaupun pernah ada sebuah organisasi bernama Masyarakat Islam yang memusatkan kegiatannya di masjid itu sejak tahun 1886. Hingga tahun 1930-an, masjid ini diketahui masih aktif. Namun, masjid ini diperkirakan tutup pada masa Perang Dunia II.

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, komunitas Muslim membangun beberapa masjid di London. Salah satu masjid yang dibangun pada masa itu, dan masih bertahan sampai sekarang sebagai institusi masyarakat yang paling tua dan aktif, adalah Masjid London Timur (East London Mosque). Selama bertahun-tahun, masjid yang dibangun pada tahun 1941 ini menjadi pusat kegiatan keagamaan komunitas Muslimin di London.

Masjid London Timur ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan. Sejak tahun 2004, masjid ini berafiliasi dengan London Muslim Centre.

Membangun Masjid

Catatan sejarah Masjid London Timur dimulai pada tahun 1910. Saat itu, para tokoh masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim, mengakui bahwa London membutuhkan sebauh masjid. Maka mereka mendirikan London Mosque Fund dan menyewa sebuah ruangan kecil sebagai tempat shalat Jumat berjamaah. Pada tahun 1940, dengan dana yang berhasil dikumpulkan, lembaga ini membeli tiga buah rumah di Commercial Road, London E1, yang kemudian dijadikan sebagai tempat ibadah yang permanen.

Pada tahun 1941, Masjid London Timur, yang terdiri dari ketiga buah rumah tersebut, dibuka secara resmi. Masjid ini segera menjadi pusat keagamaan penting bagi komunitas Muslim yang jumlahnya sedikit namun terus bertambah. Masjid ini semakin ramai karena pada tahun-tahun setelah perang, banyak imigran yang masuk ke Inggris sebagai pekerja dalam pembangunan kembali Inggris yang hancur karena perang.

Masjid ini “dipindahkan” pada tahun 1975. Saat itu, The Greater London Council (GLC) membeli ketiga rumah di Commercial Road tersebut dan menyediakan bangunan-bangunan sementara di sebuah lahan baru di Whitechapel Road. Komunitas Muslim setempat berusaha mengumpulkan dana yang dibutuhkan untuk membangun sebuah masjid yang layak di lahan yang baru ini. Dari penghasilan mereka yang terbilang kecil, mereka dapat menabung. Untungnya, tabungan mereka yang tak seberapa itu kemudian memperoleh tambahan atau bantuan dana dari Raja Arab Saudi.
Peletakan batu pertama bagi bangunan masjid baru dapat dilakukan pada tahun 1982. Masjid itu sendiri baru dapat dibuka secara resmi tiga tahun kemudian. Pada saat pembukaan, masjid ini telah terlihat megah dan menjadi salah satu landmark di kota London bagian Timur (East End) berkat kubah dan menara-menaranya. Pada mulanya, ruangan masjid ini tampak terlalu besar, namun tak lama kemudian terbuktilah bahwa pada hari Jumat, selama bulan Ramadan dan juga pada hari-hari raya Id, masjid ini penuh sesak oleh kaum Muslimin London. Bahkan, bangunan-bangunan tambahan yang direncanakan akan dibangun di sekitar masjid ini kemudian justru kekurangan ruang.

Karena kurangnya lahan, maka takmir masjid berusaha membeli tanah di sekitar masjid. Pada tahun 1999, The East London Mosque atau Masjid London Timur, dengan dukungan kuat dari warga setempat, berhasil membeli lahan tambahan di sekitar masjid. Pembanguan pun segera dimulai dan pada tahun 2001, Putra Mahkota Inggris, Pangeran Charles, bersama dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohamed Al-Faisal, meluncurkan proyek pembangunan LMC (London Muslim Centre – Pusat Pelayanan Muslim Inggris).

Pembangunan gedung LMC dimulai pada tahun 2002 dan baru selesai pada tahun 2004. Bangunan LMC ini menambah luas kompleks masjid sebesar 8300 m2. Pangeran Charles sendiri tercatat sering memeriksa proses pembangunan gedung LMC. Pada tahun 2008, Masjid London Timur, bersama dengan London Muslim Centre, terpilih sebagai Super Model Mosque 2008 (Masjid Super Model).

BBC melaporkan, pada saat LMC dibuka, kaum muslimin di London tumpah ruah ke kompleks Masjid London Timur. Diperkirakan ada sekitar 15 ribu orang Muslim yang datang ke sini untuk mendengarkan khotbah dari imam Masjidil Haram, Syeh Badur-Rahman al-Sudais. Karena ruangan utama masjid kapasitasnya hanya 3000 orang, sekitar 10 ribu pengunjung yang lain dikumpulkan di gedung LMC yang bertingkat enam dan berkapasitas 10 ribu orang.

Kegiatan Masjid London Timur dan LMC

ELM (East London Mosque/Masjid London Timur) dan LMC adalah dwitunggal yang padu. Sementara Masjid London Timur memenuhi kebutuhan spiritual komunitas Muslimin yang ada di London, LMC berperan dalam bidang sosial, integrasi masyarakat dan dialog antaragama. Kedua lembaga ini saling melengkapi. Paling tidak, dwitunggal ini menawarkan 30 jenis layanan kepada masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim.

Sebagian besar khalayak non-Muslim tertarik pada program-program yang ditawarkan oleh LMC dalam bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan ekonomi. Di antara program-program sosial yang ditawarkan LMC adalah Way To Work, yaitu program pelatihan keterampilan dan penyaluran tenaga kerja dan Women’s Link, yaitu program pemberdayaan kaum wanita. LMC juga memainkan peran integrasi dalam masyarakat dengan cara mendorong kaum muda untuk menjadi warga masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang positif.

Masjid London Timur dan LMC dikelola secara modern. Dana yang dibutuhkan untuk membangun LMC saja, misalnya, mencapai ₤10,5 juta – jumlah yang sangat besar. Sebagian dari dana itu adalah sumbangan dari jamaah masjid, tetapi ada juga sumbangan dari negara-negara dan organisasi pendonor. Untuk menjaga kredibilitas dan akuntabilitas keuangan, pengelola LMC setiap tahun menerbitkan Annual Report (Laporan Tahunan) yang dapat diperoleh di Charity Commission and Companies House – salah satu lembaga audit papan atas di Inggris.

Pelayanan LMC sebenarnya tidak semata-mata ditujukan bagi kaum Muslimin saja, melainkan terbuka bagi siapa saja tanpa memandang agama dan keyakinan serta tidak mempertimbangkan gender. Komitmen ini memang dapat terlihat secara sekilas, misalnya, dengan banyaknya aktivitas rohani kaum Hawa di kompleks rumah ibadah di sisi timur London ini. Mungkin ini disebabkan oleh sikap simpatik LMC, yang tidak hanya memberi ruang bagi kaum wanita yang terpinggirkan dalam sistem sosial, melainkan juga memberikan pelatihan keterampilan dan bimbingan dalam memilih karir yang tepat.

Pesan ingin disampaikan oleh ELM dan LMC adalah perdamaian, moderasi, dan toleransi dalam mendorong terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Secara politis, ELM dan LMC menentang kaum isolasionis. Kaum isolasionis adalah kelompok politis yang menganggap bahwa Inggris harus menutup pintu bagi orang-orang non-Anglo-Saxon dan non-Nasrani. Dengan demikian, kedua lembaga ini mendorong agar komunitas Islam di London khususnya dan Inggris pada umumnya untuk menggunakan hak suara mereka dalam pemilihan umum.

Karena sikap politiknya ini, maka ELM dan LMC dalam tahun-tahun terakhir ini telah mengakomodasi dan menjadi koalisi bagi beberapa politisi, baik dari Partai Buruh, Partai Tory (konservatif), hingga Partai Demokrat Liberal. Kesediaan kerjasama didasarkan pada platform para politisi yang memihak kepada masyarakat yang diperintah.

ELM dan LMC juga menjadi aktivis yang giat dalam serangkaian dialog antaragama di seluruh Eropa. Kedua lembaga ini adalah pendiri TELCO, sebuah organisasi antaragama yang bertujuan untuk membangun kerjasama yang konstruktfi di antara berbagai pemeluk agama yang berbeda-beda. Forum antaragama lain yang diikuti adalah Tower Hamlets Interfaith Forum dan London Resillience (sebuah lembaga yang mempersiapkan segala segala sesuatu di London jika suatu saat kota metropolitan ini tertimpa bencana). Selain, itu kedua lembaga ini juga sering terlibat dalam konferensi tentang toleransi antaraagama di tingkat nasional.

Jika melihat banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh ELM dan LMC, maka dapat dikatakan bahwa pesan-pesan Islam di London bukan hanya sekadar dikhotbahkan, tetapi juga telah dilaksanakan.

Daftar bacaan

“Britain’s Muslims Vote their Best Mosques”, tersedia di http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=Article_C&cid=1225697933445&pagename=Zone-English-Euro_Muslims%2FEMELayout

“British Muslim Heritage”, tersedia di http://www.masud.co.uk/ISLAM/bmh/BMH-IRO-london_mosques.htm

“Crowds flock to new Muslim centre”, tersedia di http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/3799353.stm

“East London Mosque…Success Story”, tersedia di http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=Article_C&cid=1179664500386&pagename=Zone-English-News%2FNWELayout

“East London Mosque”, tersedia di http://en.wikipedia.org/wiki/East_London_Mosque \

“Frequently Asked Questions”, tersedia di http://www.eastlondonmosque.org.uk/?page=faqs

“New Muslim centre opens its doors”, tersedia di http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/3796631.stm

“Prince joins Ramadan ceremony”, tersedia di http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/england/1671797.stm

“Vision”, tersedia di http://www.eastlondonmosque.org.uk/?page=facilities


Sumber gambar
http://commons.wikimedia.org/wiki/File:East_London_Mosque_Front_View.jpg

http://en.wikipedia.org/wiki/East_London_Mosque

25 Agustus, 2012

Masjid Kobe, Kobe, Jepang

Syiar Islam di Jepang baru dimulai pada awal abad ke-20. Yang pertama kali menyebarkan Islam di Jepang adalah umat Muslim dari suku Tartar yang melarikan diri dari ekspansi Rusia. Orang Tartar pertama yang tiba di Jepang adalah Abdul-Rashid Ibrahim. Sejak itu, jumlah umat Muslim di negeri itu terus meningkat seiring semakin banyaknya orang Tartar yang masuk ke Jepang.

Pada tahun 1935, umat Muslim di Jepang menciptakan sejarah dengan mendirikan sebuah masjid di kota Kobe sebagai tempat beribadah bersama. Inilah masjid pertama yang didirikan di Jepang. Masjid Kobe dirancang oleh Abdul Karim Bochia dan dibuka secara resmi untuk umum pada tanggal 11 Oktober 1935. Upacara pembukaan tersebut dilaksanakan oleh Mian Abdul Aziz, mantan Presiden All-India Muslim League, atas undangan dari Komite Masjid Kobe.

Pada tahun 1938, dibangun sebuah masjid lagi di kota Tokyo. Sejak itu, Islam terus berkembang di seluruh Jepang. Hingga tahun 1982, jumlah umat Muslim di Jepang kira-kira 30 ribu orang. Dari jumlah itu, setengahnya adalah orang asli Jepang, sedangkan yang lain beragam asal-usulnya.

Masa-masa Awal yang Berat
Sejarah Masjid Kobe terkait erat dengan riwayat keluarga Kirky. Keluarga Muslim ini berasal dari suku Tartar yang banyak tersebar di Turki, Asia Tengah, dan Rusia. Keluarga Kirky memperoleh suaka di Jepang pada masa meletusnya Revolusi Bolsyewik menjelang akhir Perang Dunia I (1914 – 1918). Untuk menghindari penindasan oleh Tentara Merah di bawah pimpinan Josef Stalin, banyak orang Tartar yang menyingkir ke Turki. Setelah memiliki paspor Turki, mereka menyebar hingga ke Finlandia dan Manchuria.

China pada masa itu sedang terpuruk dan miskin, sehingga para migran Tartar terpaksa mencari suaka ke Jepang, yang saat itu teknologinya lebih maju. Perpindahan ini adalah perpindahan yang berani, karena orang-orang Tartar ini hanya memiliki sedikit uang dan tidak memahami bahasa Jepang. Namun, orang Tartar memiliki reputasi sebagai pemberani. Banyak dari leluhur mereka yang menjadi pendekar dan sarjana terkenal. Salah satunya adalah Salahuddin Al Ayubi, sultan Turki yang termasyhur karena berhasil mengusir tentara Salib yang hendak merebut Yerusalem.

Pada tahun 1922, para migran Tartar tiba di Jepang. Terdiri dari 13 keluarga, mulanya mereka tinggal di Nagoya dan membangun sebuah sekolah kecil di sana. Karena bisnis di Nagoya tidak berkembang, salah seorang migran yang bernama Hussein Kirky memutuskan untuk pindah ke Kobe. Pada saat itu di Kobe telah ada sekitar 200-an keluarga Tartar yang berbicara dalam bahasa Turki. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang bernama Turkish Tartar Association of Kobe.

Karena telah dipaksa untuk meninggalkan hampir segala milik mereka di Rusia, orang-orang Tartar ini tidak kaya. Tetapi mereka adalah pekerja keras yang tangguh. Hussein Kirky menjadi tauladan bagi para migran ini. Pak Hussein lebih suka berjalan kaki daripada naik bus dan tidak suka naik taksi. Beliau adalah seorang Muslim yang taat, ayah yang baik, dan figur yang kharismatik. Pak Hussein dengan cepat menjadi sosok terkemuka dalam masyarakat Kobe.

Umat Muslim pertama yang menetap di Jepang adalah para pedagang. Pada masa-masa awal yang berat, ketika jumlah mereka masih sedikit, mereka berkumpul di salah satu rumah umat Muslim untuk ibadah berjamaah. Pada dekade 1920-an, ketika beberapa pedagang India yang kaya menetap di Kobe, mereka mendirikan Kobe India Club. Ibadah bersama antara umat Muslim dari suku Tartar maupun India sering dilaksanakan di klub tersebut. Untuk melaksanakan acara-acara yang lebih besar, umat Muslim di Kobe harus menyewa sebuah aula di sebuah hotel bernama Tor.

Mendirikan Masjid
Pada pertengahan tahun 1920-an, komunitas umat Muslim di Jepang semakin berkembang dengan kedatangan para pengusaha tekstil dari India. Mereka menambah jumlah umat Muslim yang sebelumnya terdiri dari para migran Tartar dan beberapa orang Arab – termasuk staf Kedutaan Besar Mesir. Pada akhir tahun 1920-an, kebutuhan akan sebuah masjid akhirnya tidak dapat ditahan lagi.

Pada tahun 1928, umat Muslim di Kobe membentuk sebuah komite pembangunan masjid yang dipimpin oleh Ferozuddin, seorang pengusaha tekstil yang kaya dari India. Para pengusaha India, Arab dan Mesir, yang sering bepergian ke luar negeri, berusaha mengumpulkan dana dengan meminta sumbangan dari umat Muslim yang kaya di negara mana pun yang mereka singgahi. Pengumpulan dana itu berjalan selama sekitar 5 hingga 6 tahun. Karena diperkirakan masih kurang juga, maka Pak Ferozuddin menyumbangkan 66,000 yen – jumlah yang sangat besar ada waktu itu – untuk menggenapi biaya pembangunan.

Setelah dana terkumpul, Komite Masjid Kobe segera membeli sebidang tanah. Pada tanggal 30 November 1934, Muhammad Bochia, yang mengajukan usul untuk mendirikan masjid dan mengawasi keseluruhan proyek tersebut, meletakkan batu pertama. Pembangunan masjid dikerjakan oleh Takaneka Construction Company. Pembangunan tersebut memerlukan waktu sekitar 2 tahun, yang diawasi secara cermat dan ketat oleh Vallynoor Mohamed.


Masjid Kobe dilihat dari udara.
Masjid Kobe dilihat dari Gunung Rokko setelah pemboman Sekutu.

Pada hari Jumat, tanggal 2 Agustus 1935, Masjid Kobe dibuka secara resmi oleh Pak Ferozuddin, dengan disaksikan oleh umat Muslim Jepang yang berasal dari berbagai bangsa, mulai dari India, Rusia, Manchuria, China, Turkistan, Jawa, Jepang, Mesir hingga Afghanistan. Setelah pidato singkat oleh P.M. Master, Pak Ferozuddin membuka gerbang masjid dengan sebuah kunci perak. Kemudian Pak Ferozuddin mendaki menara dan mengumandangkan azan pertama untuk memanggil umat Muslim melakukan shalat Jumat. Shalat Jumat berjamaah pertama yang bersejarah itu dipimpin oleh imam Masjid Kobe yang pertama, yaitu Imam Mohamed Shamguni.

Karena saat itu masih musim panas, baru pada 11 Oktober 1935 Komite Masjid Kobe dapat mengundang para pejabat Jepang dan pemimpin komunitas nonmuslim untuk menyaksikan masjid tersebut. Ada sekitar 600-an undangan yang hadir pada acara tersebut, yang dilanjutkan dengan sebuah resepsi besar di Hotel Tor. Upacara pembukaan untuk umum tersebut dilaksanakan oleh Mian Abdul Aziz, mantan Presiden All-India Muslim League, atas undangan dari Komite Masjid Kobe.

Walikota Kobe saat itu, Ginjiro Katsuda, mengucapkan selamat kepada umat Muslim di Kobe dan berharap bahwa Masjid Kobe dapat menjadi sarana untuk mempromosikan persahabatan antar-bangsa. Walikota juga berharap agar umat Muslim di kota-kota lain di Jepang juga membangun tempat ibadah, agar silaturahmi antar-umat Muslim di Jepang menjadi semakin erat.

Karena Islam di Jepang pada saat itu belum diakui sebagai salah satu agama resmi oleh pemerintah, semua urusan administrasi harus diatasnamakan secara pribadi. Maka Masjid Kobe didaftarkan sebagai salah satu hak milik Pak Ferozuddin, yang telah memberikan sumbangan sangat banyak untuk membeli tanah di mana masjid itu kini berdiri.

Biaya total pembangunan masjid itu sendiri, setelah dikalkulasi, mencapai jumlah 118,774.73 yen, yang sebagian besar diperoleh dari sumbangan para pengusaha India serta konsulat Mesir dan Afghanistan serta Turko-Tartar Association. Dengan dana sebesar itu, Komite mampu membangun - selain bangunan utama – sebuah sekolah Islam untuk anak-anak. Ternyata masih ada juga dana yang tersisa, sehingga Komite menginvestasikannya dengan membeli tiga buah banguan di dekat masjid yang selanjutnya disewakan.

Sejak peresmian itu, ibadah keagamaan pun mulai dilakukan secara teratur di Masjid Kobe. Setelah Imam Mohamed Shamguni wafat pada tahun 1939, Hussein Kirky menjadi imam sementara hingga ada imam resmi. Namun, imam resmi yang ditunggu-tunggu tidak pernah datang, dan Pak Hussein tetap memimpin ibadah selama 40 tahun berikutnya.

Muazin saat itu adalah Ahmedy Mohamady, seorang Turki yang datang ke Jepang pada tahun 1920-an. Dia tinggal di masjid dan menjadi takmir yang mengelola dan membersihkan masjid sekaligus menjadi perawat taman. Dia melarang anak-anak bermain atau membuat kegaduhan di dalam masjid. Dia juga melarang ibu-ibu muda membawa bayi ketika hendak shalat di masjid karena, ketika bayi diletakkan di atas karpet sementara si ibu shalat, bisa saja si bayi mengotori karpet.

Ahmedy melaksanakan tugas sebagai muazin dengan dedikasi tinggi. Bahkan pada tahun 1990-an, ketika usianya sudah sangat lanjut, dia masih berani mendaki menara untuk mengumandangkan azan. Namun, akhirnya Ahmedy hanya mengumandangkan azan di dalam masjid dengan mikrofon kecil karena masyarakat setempat merasa terganggu oleh suara azan. Ahmedy hidup hingga usia 102 tahun.

Keajaiban Masjid Kobe
Pada tahun 1939, Perang Dunia II meletus. Ketika Jepang terlibat perang melawan Sekutu, banyak orang India dan Tartar mengungsi ke luar negeri. Kemudian Amerika Serikat mulai membombardir Tokyo dan Yokohama, dan Kobe pun tak luput dari bom.

Umat Muslim yang tetap bertahan di Kobe memutuskan untuk melindungi masjid mereka. Untuk mencegah kebakaran dan melindungi lantai masjid yang indah, mereka melapisi lantai dengan kertas minyak, tatami, dan pasir setebal sekitar 2,5 cm. Akibatnya, umat Muslim yang tersisa tidak bisa bersembahyang di sana selama perang berlangsung.

Pada tahun 1943, Masjid Kobe disita oleh Angkatan Laut Jepang dan dijadikan sebagai tempat penyimpanan peralatan khusus di lantai dasar. Pihak Komite tidak diberitahu tentang peralatan tersebut tetapi tidak mampu menolak. Masjid pun praktis tidak bisa digunakan untuk kegiatan apapun. Kemungkinan besar, peralatan yang disimpan di sana sangat penting, karena masjid itu selalu dijaga oleh sekitar 10 orang tentara selama perang.

Walaupun Kobe dibombardir habis-habisan oleh pesawat-pesawat Sekutu, namun Masjid Kobe tetap kukuh berdiri. Padahal, bangunan-bangunan lain di sekelilingnya telah hancur berkeping-keping menjadi puing-puing dan rata dengan tanah. Masjid Kobe hanya mengalami retak-retak pada dinding bagian luar dan warnanya menjadi hitam karena jilatan api. Namun, hawa panas akibat bom juga melelehkan dan merusak semua jendela. Sedangkan bangunan sekolah yang terbuat dari kayu dan tempat wudhu di samping masjid juga rusak parah.

Pada tahun 1947, setelah perang berakhir, umat Muslim kembali ke Kobe. Banyak orang Tartar yang datang dari China hingga jumlahnya mencapai 360 orang. Para pengusaha India dan keluarganya juga kembali ke Kobe. Semua rumah mereka telah hancur lebur karena bom. Namun, Masjid Kobe yang tetap kukuh berdiri diserahkan kembali kepada mereka.

Negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi dan Kuwait segera memberikan bantuan sebesar 2,000 pounds sterling untuk merestorasi Masjid Kobe. Kaca-kaca baru untuk jendela pun didatangkan dari Jerman. Abdul Hadi Debbs, anggota Komite dan pengusaha yang terpandang, turut menyumbangkan dana. Seorang pengusaha terpandang lain, Mr. Al Bakir, menyumbangkan kandil-kandil dan sistem pendingin udara.

Pada tanggal 17 Januari 1995, gempa besar mengguncang Kobe. Gempa ini dikenal sebagai The Great Kobe Earthquake. Gempa tersebut, yang berlangsung selama sekitar 20 detik, meluluhlantakkan seluruh kota Kobe. Sekitar 5000 orang meninggal dan 35000 orang cedera. 180000 bangunan rusak parah dan 300000 orang kehilangan tempat tinggal.

Namun, karena lantai dasar dan strukturnya yang dirancang dengan cermat, Masjid Kobe tidak terpengaruh walaupun kekuatan gempa tersebut sangat besar, yaitu 7,3 skala Richter. Masjid ini menjadi satu-satunya bangunan di pusat kota Kobe yang tetap berdiri ketika semua bangunan lain di seluruh Kobe runtuh. Karena itu, umat Muslim Kobe yang kehilangan tempat tinggal dapat mengungsi untuk sementara waktu di masjid ini.

Kini, Masjid Kobe masih berdiri dan menjadi tempat ibadah umat Muslim di Kobe. Komite Masjid Kobe saat ini dipimpin oleh Yusuf Badhelia, seorang pengusaha terpandang keturunan India. Takmir Masjid Kobe telah memanfaatkan media internet untuk memberikan informasi kepada khalayak mengenai syiar Islam di Jepang pada umumnya dan Masjid Kobe pada khususnya. Korespondensi dengan takmir masjid tersebut dapat dilakukan melalui alamat 2-25-14, Nakayamate Dori, Chuo-ku, Kobe 650-0004, Japan, Tel: 078-231-6060, Fax: 078-231-6061, E-mail : kobe_muslim_mosque@hotmail.com.


Daftar bacaan
Caesar E. Farah, 2003. Islam: beliefs and observances. New York: Barron's Educational Series.
Ahmad Rashid Malik, 2008. Pakistan-Japan Relations: Continuity and Change in Economic Relations and Security Interests. New York: Taylor & Francis.

Sumber Internet:
“The Story of Kobe Mosque”, tersedia di http://www.kobemosque.org/History English.htm,

Sumber gambar:
http://en.wikipedia.org/wiki/Kobe_Mosque.
http://wikimapia.org/4465360/Kobe-Mosque-Kobe-Japan

24 Agustus, 2012

Masjid Hassan II, Casablanca, Maroko

Gambar 1 Masjid Hassan II, Casablanca, Maroko
Casablanca adalah sebuah kota yang sudah sangat tua usianya. Kota ini terletak di Maroko. Maroko sendiri, bersama dengan Tunisia, Aljazair dan Libya serta negara-negara Afrika Utara yang lain, dalam literatur Islam sering disebut sebagai negeri-negeri Maghribi. Karena sudah sangat tua umurnya, maka di Casablanca banyak dijumpai artefak kebudayaan yang memperlihatkan pengaruh dari zaman lama, termasuk arsitektur masjid yang paling terkemuka di kota ini, yaitu Masjid Hassan II.

Masjid Hassan II dikenal sebagai masjid yang memiliki menara paling tinggi di dunia. Tinggi menara itu adalah sekitar 210 m atau 689 kaki. Selain ketinggiannya itu, menara masjid ini juga termasyhur sebagai menara yang spektakuler karena dari puncaknya pada waktu malam hari akan terlihat sinar laser yang terang yang mengarah ke kiblat, yaitu ke arah Kabah di Mekah, seakan-akan menjadi penunjuk jalan ke rumah Tuhan. Selain itu, Masjid ini juga spektakuler karena sebagian lantainya terletak tepat di atas Samudera Atlantik.

Masjid Hassan II merupakan masjid terbesar di Maroko dan masjid ketiga terbesar di dunia setelah Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Ruangan utama masjid ini dapat menampung 25 ribu jamaah, namun jika seluruh ruangan dalam dan luar masjid dimanfaatkan – kapan saja diperlukan – maka kapasitasnya akan meningkat menjadi 105 ribu jamaah.

Membangun Masjid
Seperti yang tercermin dari namanya, Masjid Hassan II dibangun atas perintah raja Maroko, yaitu Raja Hassan II. Hampir setengah bagian bangunan ini berada di atas air Samudera Atlantik. Lokasi ini mengambil inspirasi dari salah satu ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa arasy (tahta) Tuhan “berada di atas air.” Sebagian dari lantai masjid terbuat dari kaca sehingga jamaah dapat berdiri tepat di atas air laut Samudera Atlantik. Hal ini terutama ditekankan oleh sang raja:

Gambar 2 Masjid Hassan II, Casablanca, Maroko
“Saya ingin agar Casablanca memiliki sebuah bangunan yang besar dan indah serta dapat menjadi kebanggaan hingga akhir zaman .... Saya ingin membangun sebuah masjid di atas air, karena tahta Tuhan terletak di atas air. Maka, orang-orang mukmin yang bersembahyang di sana untuk memuja Sang Pencipta sekaligus dapat merenungkan langit dan lautan kepunyaan Tuhan ini”.

Bangunan masjid ini dibangun di atas tanah urukan dan dirancang sedemikian rupa sehingga tahan gempa serta memiliki sistem pemanasan lantai, pintu-pintu elektronik, dan atap yang bisa dibuka-tutup. Arsiteknya adalah seorang Perancis bernama Michel Pinseu. Pekerjaan pembangunan dimulai pada tanggal 12 Juli 1986 dan diharapkan selesai pada hari ulang tahun ke-60 Raja Hassan II pada tahun 1989. Namun, ternyata proses pembangunan molor sehingga baru selesai pada tanggal 30 Agustus 1990. Jumlah pekerja pembangunan kira-kira 2500 orang. Proses ini juga melibatkan 10 ribu seniman dan pengrajin.

Semua bahan baik berupa batu granit, pualam, kayu maupun bahan-bahan yang lain yang digunakan dalam pembangunan ini diambil dari sekitar Maroko, kecuali bahan untuk pilar granit putih dan kandil-kandil kaca yang didatangkan dari Murano, Venezia, Italia. Selama lima tahun, sekitar 6 ribu seniman tradisional Maroko bekerja keras untuk mengubah bahan-bahan mentah ini menjadi mozaik, lantai dan pilar-pilar batu, dinding, dan langit-langit kayu yang diukir dan berwarna-warni. Pada saat tenggat yang ditentukan telah terlewati, 1400 orang bekerja pada siang hari dan 1000 orang bekerja pada malam hari untuk menyelesaikan proyek ini.

Pembangunan masjid ini diperkirakan menelan biaya sekitar $800 juta, yang sebagian besar diambil dari pajak. Berbagai laporan internasional telah memberikan laporan bahwa ada banyak sekali kecaman dan dana-tidak-sukarela yang digunakan untuk membiayai proyek ini. Namun, orang Maroko agaknya tetap bangga dengan monumen mereka ini. Pengumpulan dana untuk pembangunan masjid ini sebenarnya juga memiliki sensitif: mengurangi jumlah uang yang beredar di Maroko dan menekan inflasi.

Gaya arsitektur Masjid Hassan II memperlihatkan pengaruh gaya “Moorish” yang kuat dan mengingatkan orang pada kemegahan Alhambra dan Mezquita, dua peninggalan kebudayaan Islam yang termasyhur di daratan Spanyol. Pintu-pintu di luar maupun di dalam ruangan masjid dicirikan oleh lengkungan berbentuk tapal kuda. Sedangkan dinding dan pilar-pilar di dalam ruangan dihiasi dengan berbagai macam pola ukiran yang rumit dan indah.

Gambar 3 Masjid Hassan II, Casablanca, Maroko
Ruangan utama, tempat umat Muslimin shalat, dilapisi dengan karpet merah. Sementara itu, balkon khusus wanita dan anak-anak diletakkan di sebelah kanan pintu masuk dan dibuat dari kayu yang diukir dengan indah. Di bawah lantai, terdapat tempat permandian umum gaya Turki dan juga air mancur yang dapat digunakan sebagai air wudlu.

Tradisi dan Masjid Hassan II
Masjid Hassan II yang spektakuler ini bukan semata-mata bangunan religius yang spektakuler. Masjid ini menjadi semacam pesan kepada seluruh umat manusia agar merenungkan otentisitas masjid ini, kebesarannya, dan kebanggaannya serta semangatnya untuk membangun saling pengertian dengan sesama makhluk Tuhan sekaligus merenungkan kebesaran Sang Pencipta.

Masjid Hassan II adalah bagian dari tradisi pembangunan monumen religius yang panjang di negeri-negeri Maghribi. Masjid monumental pertama yang dibangun adalah pada masa Umayyah. Abd al-Malik memerintahkan pembangunan masjid yang dikenal sebagai Kubah Batu (Ubbat as-Sakhra) tersebut antara tahun 688 dan 692 yang, bersama dengan Masjid Al-Aqsa, salah satu bangunan Islam terkenal.

Antara tahun 705 dan 710, Al-Walid memerintahkan rekonstruksi Masjid Raya Madinah serta pembangunan Masjid Raya Damaskus antara tahun 706 dan 715. Masjdi Raya Damaskus adalah prototip atau cetak biru bagi masjid-masjid di Maghribi. Tata letak seperti ini disebut sebagai “Medinian”. Di daerah ini, Masjid Raya Kairouan dianggap sebagai pendahulu dari semua masjid. Masjid ini didirikan oleh ‘Oqba ben Nafi’, diruntuhkan dan dibangun ulang pada akhir abad ke-7 M, diperluas pada pertengahan abad ke-9 M oleh Kalifah Hisyam, kemudian diperindah oleh Zidayat Allah sebelum diperluas lagi pada abad ke-9 M.


Masjid monumental berikutnya yang dibangun di daerah Maghribi adalah Masjid Agung di Andalusia, Spanyol. Masjdi yang dibangun oleh ‘Abd al-Rahman I antara tahun 785 – 786 M ini diperluas secara berturut-turut oleh Abd al-Rahman II pada tahun 833 M, al-Hakam pada tahun 961 M dan oleh al-Mansur pada tahun 987 M. Masjid ini menjadi prototip bagi dua masjid besar yang lain, yaitu Masjid Raya Saragossa dan Toledo. Selain itu, masjid ini juga mengandung desain ornamental yang akan dilanjutkan berabad-abad kemudian di Maroko.

Baru pada abad ke-9 M di Maroko dibangun dua masjid monumental, yaitu Masjid Qarawiyyin dan Masjid Andalous. Masjid Qarawiyyin diperluas pada tahun 956 M dan 1135 M pada masa pemerintahan Almoravids. Kedua masjid ini menandai lahirnya kesenian khas Maroko yang kemudian mengembangkan ciri-ciri khas lokal Maroko yang telah memperoleh pengaruh dari Andalusia dan Timur Tengah. Kedua bangunan ini menjadi saksi kemahiran para seniman Maroko yang berhasil menyarikan ciri-ciri lokal dan mencampurnya dengan pengaruh dari luar untuk menciptakan sebuah gaya kesenian yang khas Maroko.

Kemampuan untuk mengintegrasikan pengaruh dari luar untuk memperkaya tradisi lokal ini akan menjadi ciri kesenian Maroko secara umum dan arsitektur Maroko secara khusus. Bahkan pada masa pemerintahan Almoravid, yang terpesona pada kebudayaan Andalusia, dan juga pada masa pemerintahan dinasti Merinid, tradisi menjaga warisan dari masa lalu ini tetap berlaku.

Tradisi ini terbukti dengan dibangunnya berbagai masjid yang memukau di negeri Maghribi dan Andalusia, seperti Masjid Tinmel di Marrakesh, Masjid Hassan di Rabat, dan Masjid Raya Taza dan Gerilda di Sevilla, yang dibangun oleh Abou Yacoub pada tahun 1171. Masjid-masjid ini dan ornamen-ornamennya yang khas menjadi sumebr inspirasi bagi masjid-masjid lain.

Setelah masa kekuasaan dinasti Almohad berlalu, Maroko menghasilkan beberapa bangunan lagi, seperti madrasah-madrasah Merinid dan masjid-masjid di Fez, Sale dan Oujda, atau mouseleum Saadi di Marrakesh dan masjid-masjid di Alaouite dan berbagaiistana di Fez, Marrakesh dan Meknes. Semua bangunan tersebut merupakan karya seni arsitektur yang telah menjadikarya klasik.

Masjid Hassan II merepresentasikan bukan hanya kemampuan untuk mengasimilasikan pengaruh-pengaruh dari luar, tetapi juga mencerminkan harmoni dengan teknologi baru yang lebih efektif. Perpaduan ini menghadirkan masa lalu dengan lebih efektif, tidak lagi sekadar menyalin masa lalu tersebut, sehingga menimbulkan rasa penghargaan yang lebih besar dan tidak hanya bersifat nostalgia belaka.

Sementara tetap setia dengan inspirasi tradisional, Masjid Hassan II memanfaatkan semua pencapaian teknologi pada masa mdoern, sehingga sekaligus mencerminkan semangat yang sejalan dengan peradaban kontemporer sekaligus dengan ajaran-ajaran Islam.


Pencapaian Masjid Hassan II ini, seperti yang telah diungkapkan, tidak terlepas dari tradisi arsitektur yang telah berlangsung sangat lama di Maroko. Sebelum masjdi ini dibangun, orang Maroko telah membangun makam Raja Muhammad V dan proyek-proyek besar lain seperti renovasi istana-istana di Fez, Marrakesh, Rabat dan Casablanca serta Agadir dan Nador. Jadi, ciri utama arsitektur Maroko adalah perpaduan antara bentuk lengkung, bahan kayu, cat dan ukuran dari masa Almoravid dengan ornamentasi floral (bunga-bungaan) dan inskripsi serta desain dan bahan-bahan krom yang dihasilkan pada masa modern.

Masjid Hassan II menandai keberlanjutan suatu kesenian kuno yang telah termodernisasikan dan bukan hanya sekadar inovasi teknologis, melainkan juga kesempatan untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan estetika yang baru.


Sumber internet

“Hassan II Mosque, Casablanca”, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010, tersedia di http://www.sacred-destinations.com/morocco/casablanca-hassan-ii-mosque

“Hassan II Mosque”, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010, tersedia di http://en.wikipedia.org/wiki/Hassan_II_Mosque

“Hassan II Mosque”, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010, tersedia di http://architecture.about.com/od/greatbuildings/ig/Sacred-Buildings/Hassan-II-Mosque-.htm

“Masjid Hassan II”, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010, tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Hassan_II

“Mosque Hassan II”, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010, tersedia di http://commons.wikimedia.org/wiki/Mosqu%C3%A9e_Hassan_II

“The Hassan II Mosque in the Historical Contekxt”, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010, tersedia di http://www.moroccotravelandtours.com/hassan_ii_mosque.htm


Sumber gambar

“Largest Mosques”, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010, tersedia di http://www.netuse.co.uk/clients/salawaat/mosques-largest.htm

10 Agustus, 2012

Masjid Aya Sofia, Istanbul, Turki

Sejak tahun 1934, tidak pernah ada lagi umat Muslim yang menunaikan shalat di dalam bangunan megah ini. Pemerintah Turki yang sekuler pimpinan Kemal Attaturk telah mengubahnya menjadi sebuah museum. Ikon-ikon Kristen, yang 5 abad sebelumnya telah diperintahkan untuk ditutup oleh penakluk Byzantium, Sultan Muhammad II, kembali ditampilkan bersama-sama dengan ikon-ikon Islam.

Namun, Aya Sofia selalu memperoleh tempat dalam ingatan dunia Islam – dalam jangka waktu yang sangat panjang, Aya Sofia pernah menjadi salah satu masjid kebanggaan kaum Muslimin sedunia.

Gambar 1 Masjid Aya Sofia (www.on-the-matrix.com)
Wakil Islam di Benua Eropa
Aya Sofia terletak di kota Istanbul, Turki. Sebelum ditaklukkan oleh Sultan Muhammad II pada tahun 1453, kota ini bernama Konstantinopel dan merupakan ibu kota kekaisaran Byzantium serta pusat agama Katolik Ortodoks. Istanbul dibagi menjadi dua bagian oleh Selat Bosporus, sehingga separuh bagian Istanbul terletak di benua Asia, sementara separuhnya lagi terletak di benua Eropa. Namun, ketika masih bernama Konstantinopel, wilayah kota ini hanya mencakup daerah yang terletak di bagian Eropa saja.

Gambar 2 Peta Turki (www.worldatlas.com)
Bagian Istanbul yang terletak di Eropa masih dibagi lagi oleh muara sungai besar yang bernama Tanduk Emas. Selama berabad-abad, Tanduk Emas merupakan pelabuhan alam yang ideal karena terlindung dari gelombang laut yang besar namun cukup dalam sehingga bisa dilalui oleh kapal-kapal berukuran besar.

Aya Sofia terletak di bagian kota Istanbul yang terbentang di daratan Eropa. Di sebelah baratnya terbentang Laut Marmara, yang jika ditelusuri lebih ke barat lagi akan terhubung dengan Selat Dardanella, Laut Aegea dan Laut Maditerannia. Di sebelah timurnya terbentang muara Tanduk Emas. Selat Bosporus yang sempit terbentang tepat di hadapan Aya Sofia dan Istanbul dan terus menjulur ke timur hingga mencapai Laut Hitam.

Letak geografisnya yang unik ini menjadikan Aya Sofia, ketika masih merupakan sebuah masjid, seolah-olah menjadi wakil Islam tegak yang berdiri di Eropa – pusat dunia Kristen.

Gereja Aya Sofia
Pada mulanya, Aya Sofia adalah sebuah gereja Katolik Ortodoks. Namanya saat masih menjadi gereja adalah “sancta sophia” atau “sancta sapienta” (bahasa Latin) yang artinya “holy wisdom” atau “kebijaksanaan suci”. Sebelum berdirinya Katedral Sevilla pada 1520, bangunan ini merupakan katedral terbesar di dunia selama lebih dari 1000 tahun.

Sebenarnya, gereja Aya Sofia yang bangunannya masih ada sampai saat ini adalah gereja Aya Sofia yang ketiga yang berdiri di tempat yang sama. Gereja Aya Sofia yang pertama dan kedua rusak karena dibakar dalam huru-hara. Sedangkan gereja Aya Sofia yang ketiga dibangun pada tahun 532 – 537 M atas perintah Justinian, Kaisar Byzantimum pada masa itu. Arsiteknya adalah Isiodore dari Miletus dan Anthemius dari Tralles.

Hanya sedikit yang tersisa dari bangunan gereja yang pertama dan kedua. Di antaranya adalah tempat pembaptisan dan skeuphylakion. Skeuphylakion adalah sebuah bangunan berbentuk bundar yang dulu merupakan tempat penyimpanan harta milik patriarch. Sedangkan tempat pembapstisan diubah menjadi makam para sultan Ottoman pada tahun 1639.

Sejak tahun 360 M dan 1000 tahun berikutnya, gereja Aya Sofia menjadi kantor resmi patriarch Konstantinopel. Karena itu, di gereja ini pernah tersimpan ikonostatis (patung religius) perak setinggi 15 meter. Perannya sebagai pusat dunia Kristen di Timur diperkuat oleh dukungan resmi Kekaisaran Byzantium, yang menjadikan gereja ini sebagai tempat resmi pelaksanaan berbagai upacara kenegaraan.

Gambar 3 Mozaik-mozaik berciri Kristen di dalam Aya Sofia (www.ce.cmu.edu)
Sebagai gereja Katolik Ortodoks, Aya Sofia merupakan tanda kebesaran arsitektur Byzantium dan dianggap telah mengubah sejarah arsitektur dunia. Kubah raksasa Aya Sofia, yang merupakan keajaiban arsitektur pada masanya, sering dianggap sebagai simbol bagi ketakterbatasan kosmos Roh Kudus. Diperlukan waktu lima tahun untuk membangun ulang kubah tersebut setelah digoncang gempa besar pada tahun 557 M. Kubah yang baru, yang lebih tinggi dan ditopang oleh empat puluh buah penyangga, secara bertahap ditambahkan setelah terjadinya gempa lagi pada tahun 859 M dan 989 M.

Gereja Aya Sofia juga pernah menjadi sasaran penjarahan tentara Salib dalam Perang Salib IV pada tahun 1204. Setelah itu, gereja ini dikembangkan lagi oleh Kaisar Andronicos II.

Penaklukan Byzantium
Penaklukan Byzantium oleh Sultan Muhammad II pada tahun 1453 adalah salah satu peristiwa yang kerap dibanggakan oleh umat Muslimin. Para prajurit Kesultanan Ottoman yang menjadi luar biasa berani karena mencari syahid menemukan sebuah cara yang unik untuk merebut Konstantinopel yang begitu sulit untuk ditaklukkan walaupun telah dikepung rapat selama berminggu-minggu.

Konstantinopel kala itu memang kota terkuat di dunia karena dikelilingi oleh benteng batu tebal setinggi 10 meter. Dari atas benteng itu, para prajurit Konstantinopel dengan mudah akan menembakkan puluhan meriam ke arah pasukan musuh yang menyerbu dari arah Laut Marmara di barat atau Selat Bosporus di selatan. Kapal musuh tidak bisa mendaratkan pasukan dari sisi timur yang pertahanannya paling lemah karena tidak bisa melewati rantai raksasa yang dibentangkan di jalur masuk ke perairan Tanduk Emas.

Gambar 4 Tanduk Emas (en.wikipedia.org)
Namun, Sultan Muhammad II menemukan cara yang cerdas agar pasukan Muslimin dapat masuk ke perairan Tanduk Emas yang jalurnya dihalangi oleh rantai raksasa. Beliau memerintahkan agar kapal-kapal perang umat Muslim ditarik melalui jalur darat yang terjal di sekitar Tanduk Emas, lalu diluncurkan ke perairan Tanduk Emas. Dengan demikian, kapal-kapal itu tetap dapat masuk lebih jauh tanpa harus melewati halangan rantai raksasa.

Dalam waktu semalam, sekitar 70 buah kapal perang Ottoman diangkut melalui jalur darat, lalu dilepaskan lagi ke perairan Tanduk Emas. Konon, para pengangkut menggunakan gelondongan kayu yang dijajarkan, sehingga lunas kapal yang sempit dapat memasuki celah di antara kedua gelondongan tersebut, sementara setiap gelondongan dilumuri dengan minyak, lalu kapal didorongd i sepanjang rangkaian golongan kayu yang menghubungkan dua perairan yang berbeda.

Keberhasilan “mengakali” rantai emas itulah yang menjadi awal keberhasilan pasukan Ottoman merebut Konstantinopel. Pasukan Byzantium tak menyangka-nyangka bahwa pasukan Muslimin akan mampu melewati halangan rantai raksasa di jalur masuk Tanduk Emas. Padahal, pertahanan mereka di sisi itu adalah pertahanan yang paling lemah.

Sebelum penyerangan besar-besaran yang akan menentukan nasib Konstantinopel, Sultan Muhammad II berpidato di depan tentara Islam:

“Jika penaklukan kota Konstantinopel berhasil, maka sabda Rasulullah SAW telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizat beliau telah terbukti. Maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits beliau itu, yang berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu per satu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan untuk menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada di antara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran.”

Masjid Aya Sofia
Ketika Konstantinopel akhirnya takluk, Sultan Muhammad II – yang kemudian dijuluki Al-Fatih atau Sang Penakluk – masuk ke dalam gereja Aya Sofia dan memerintahkan agar bangunan itu segera diubah menjadi masjid sehingga dapat digunakan untuk shalat Jumat. Lonceng, altar, ikonostatis, dan alat-alat pengorbanan Kristiani dibuang dan banyak mozaik (lukisan dinding) berciri Kristen ditutup. Yang patut dicatat adalah bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih memerintahkan dengan tegas agar gereja-gereja yang lain tidak diganggu dan menjatuhkan hukuman berat kepada mereka yang tidak mematuhi perintah itu.

Menurut catatan, khatib kotbah Jumat yang pertama di Masjid Aya Sofia adalah Asy-Syeikh Ak Semsettin. Pada hari itu juga nama Konstantinopel diubah menjadi “Islam Bol” atau “Kota Islam” dan kemudian dijadikan sebagai ibu kota ketiga Kesulatanan Ottoman setelah Bursa dan Edirne.

Gambar 5 Mihrab Masjid Aya Sofia (www.ce.cmu.edu)
Ciri-ciri arsitektur Islam, seperti mihrab, mimbar, dan keempat menara yang terdapat di bagian luar masjid ini, ditambahkan selama masa kekuasaan para sultan Ottoman. Selama 500 tahun masa kejayaan kesultanan ini, Aya Sofia menjadi model bagi masjid-masjid Ottoman yang lain, seperti Masjid Sultan Ahmed (Masjid Biru Istanbul), Masjid Schzade, Masjid Suleymani, Masjid Ruthem Paska, dan Masjid Kilic Ali Paska.

Sultan Muhammad II menambahkan sebuah menara kayu yang kemudian diganti dengan menara dari batu-bata di sisi selatan. Beliau juga membangun gedung madrasah dan gedung untuk mengelola wakaf di sekitar kompleks Masjid Aya Sofia. Sultan Salim II memerintahkan restorasi besar-besaran yang dilakukan oleh arsitek Mimar Sinan. Pada masa inilah ditambahkan ruangan khusus untuk sultan dan menara kedua yang terbuat dari batu. Mimar Sinan juga membangun Makam Sultan Salim II di sisi tenggara masjid ini pada tahun 1577. Makam Sultan Murad III dan Muhammad III dibangun di sebelah makam tersebut pada tahun 1600-an.

Pada tahun 1739, Sultan Mahmud memerintahkan pembangunan tempat wudhu besar, tempat pengajaran Al-Quran, dapur dan perpustakaan, sehingga masjid ini menjadi pusat kompleks sosial. Sementara itu, Sultan Muradd II menambahkan dua buah menara batu, sehingga menara Aya Sofia menjadi empat – yang amsih dapat dilihat sampai sekarang.

Restorasi besar-besaran yang paling terkenal di dunia Barat adalah restorasi yang diperintahkan oleh Sultan Abdulmajid II. Beliau mengundang sepasang kakak-adik arsitek dari Swiss, Gaspare dan Giuseppe Fossatti untuk melakukan renovasi. Selain memperkuat kubah, penopang dan pilar-pilar, kedua arsitek tersebut merevisi dekorasi eksterior dan interior. Mereka juga mencatat mozaik-mozaik figural yang telah ditutup atas perintah Sultan Muhammad Al-Fatih. Catatan mereka inilah yang menjadi panduan untuk merestorasi mozaik-mozaik tersebut setelah Aya Sofia diubah menjadi museum oleh pemerintahan Kemal Attaturk.

Menjadi Museum
Pada 1934, pemerintah Republik Turki yang berhaluan liberal dan bersikap keras terhadap Islam mengubah Masjid Aya Sofia menjadi sebuah museum. Hingga kini, masjid ini tetap menjadi museum dan merupakan salah satu lanskap kebanggaan Istanbul.

Restorasi Aya Sofia sebagai museum diprakarsai oleh Byzantine Institute of the United States dan Dumbortan Oaks Field Committe pada tahun 1940-an, yang masih berlanjut hingga sekarang. Riset arkeologis juga mengungkapkan kembali aspek-aspek bangunan ini yang terkait dengan sejarah, struktur, dan dekorasi bangunan ini semasa masih menjadi gereja.

Proses restorasi pada masa modern antara lain telah membuka kembali mozaik-mozaik Kristen yang telah ditutup selama ratusan tahun. Hasilnya, mzoaik-mozaik Kristen tersebut kini dapat terlihat, tampil bersebelahan dengan simbol-simbol Islam. Yang paling mengejutkan, mihrab Masjid Aya Sofi kini terletak hampir tepat berada di bawah sebuah mozaik tentang Bunda Maria dan Yesus!

Aya Sofia kini merupakan salah satu dari 100 monumen yang terancam kepunahan. Daftar ini dkeluarkan oleh World Monuments Fund pada tahun 1996 dan 1998. Karena pentingnya pengaruh konsepsi arsitektur klasik Ottoman, Aya Sofia telah dibuka untuk pengunjung sebagai museum untuk umum.

Walaupun telah menjadi museum, dan tidak ada lagi umat Muslimin yang menunaikan shalat di dalam gedung megah ini, kaum Muslimin di dunia akan tetap mengingatnya sebagai salah satu kegemilangan dalam sejarah Islam.

Daftar bacaan
Mainstone, Rowland J., 1997. Hagia Sophia. Architecture, Structure and Liturgy of Justinian's Great Church. London: Thames & Hudson.
Swainson, Harold, 2005. The Church of Sancta Sophia Constantinople: A Study of Byzantine Building. Boston: Adamant Media Corporation.

Sumber internet

Sumber-sumber gambar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More